Kajian UGM Rekomendasikan Kebijakan Kukar Dukung Perlindungan Tutupan Hutan
TENGGARONG – Berdasarkan kajian wilayah perluasan program kegiatan Proyek Kalimantan Forest (KALFOR Project) di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Tim Universitas Gadjah Mada (UGM) merekomendasikan beberapa hal terkait dengan Kajian Pengelolaan Tutupan Hutan di Luar Kawasan Hutan.
“Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki modal kawasan, masyarakat lokal, kebijakan pemerintahd aerah, dan mitra pembangunan yang cukup kuat dalam mendukung kegiatan perlindungan tutupan hutan di luar kawasan hutan,” kata Dr Hero Marhaento selaku Ketua Tim Kajian Hutan UGM, Selasa (24/1/2023) di Hotel Grand Fatma, Tenggarong.
Selain itu kata Hero rekomendasi timnya sejalan dengan visi dan misi project KALFOR dan duplikasi best-practice pada project KALFOR dengan memperhatikan tipologi persoalan dan karekteristik masyarakat di kabupaten Kutai Kartanegara.
Dikatakan Hero strategi dalam pengelolaan dapat dilaksanakan kegiatan dengan skema pendanaan FCPF, penguatan kelembagaan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan, peningkatan kapasitas staf pemerintah daerah, pengarustamaan penyusunan kebijakan tingkat kabupaten untuk mendukung kelestraian tutupan hutan yang tersisa, menyingkronisasikan kegiatan dengan mitra pembangunan untuk membantu menyusun profil keanekaragaman hayati daerah dan rencana induk pengelolaan keanekaragaman hayati daerah (Inpres 1/2023).
Kemudian pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya pengembangan komoditas HHBK dan jasa lingkungan (wisata alam), penyusunan kebijakan pemberian insentif fiskal maupun non fiskal bagi pelaku usaha dan masyarakat, pemanfaatan IPTEK untuk membantu pemasaran komoditas HHBK dan jasa lingkungan (wisata alam)-IKN sebagai pasar potensial dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan hutan dan lahan yang ramah lingkungan (pembukaanlahan tanpa membakar).
Selain itu, penegakan hukum bagi aktivitas penambangan ilegal dengan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (jaksa, kepolisian, KPK, GAKKUM, dll), rehabilitasi hutan dan lahan kritis dengan berbagai pitensi pendanaan (dana RHL, CSR perusahaan, DBH-DR, dll), perlibatan dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam upaya perlindungan tutupan hutan (membentuk MMP, MPA,dll).
“Pengawasan tata ruang wilayah yang membatasi alih fungsi lahan hutan menjadi non hutan pada daerah hulu sungai dan area bernilai konservasi tinggi (penetapan luas tutupan hutan tetap di luar kawasan hutan) dan fasilitasi sarana dan prasarana dalam pemanfaatan dan pemasaran komoditas HHBK dan jasa lingkungan (wisata alam) berbasis masyarakat yang berkelanjutan),” demikian jelasnya. (Prokom10)