Pakar Hukum Sebut Edi Damansyah Miliki Hak Untuk Dicalonkan Pada Pilkada 2024
SEBAGAI pembelajaran hukum menyambut Pesta Demokrasi Tahun 2024, Universitas Hasanuddin menginisiasi Simposium yang bertajuk “Pelaksanaan Pilkada Tahun 2024” menghadirkan para pakar akademisi hukum seperti Prof. dr. Aswanto, Prof. Dr. Hamzah, dr. Hamdan Zoelva (Virtual), Dr. Heru Widodo yang dimoderati oleh dr Herdiansyah Hamzah (Bung Castro), serta Rektor Universitas Hasanuddin-Makassar Prof. dr Ir Jamaluddin Jumpa, Selasa (29/8/2023) di Gedung Bela Diri Stadion Aji Imbut, Kecamatan Tenggarong Seberang.
Dalam kesempatan itu juga para pakar sesuai keilmuannya masing-masing memberikan pandangannya terhadap putusan terkait dengan periodisasi jabatan kepala daerah (Pejabat Definitif, Pejabat Sementara: Plt, Plh, Pj dan Pjs) Eksaminasi Putusan MK No. 2/PUU-XXI/2023 yang juga tertuang terbitan buku yang berjudul “Periodisasi Jabatan Kepala Daerah) oleh Prof Dr. Amir Ilyas, SH., M.H Guru Besar Fakultas Hukum Unhas.
Dikatakannya, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya dikenal sebagai “The Guardian of Constitustion” tetapi juga sebagai “The Sole Interpreter of Constitution.” Apa jadinya jika suatu undang-undang yang dimohonkan untuk ditafsirkan dengan berdasarkan UU NKRI 1945, lalu kemudian hasil penafsirannya semakin menciptakan kekaburan hukum? Tentulah tidak ada jalan lain, selain meminta pendapat dari para ahli yang memiliki otoritas, pengalaman dan kompetensi tentang masalah hukum tersebut.
salah satunya studi kasus dibalik putusan MK yang kabur dalam hal memberikan oemaknaan atas uji materil Pasal 7 ayat 2 huruf n Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota UU No.10/2016). Para eksaminator pada pokoknya menerangkan bahwa Drs. Edi Damansyah, M.Si masih memiliki hak konstitusional untuk ditetapkan sebagai Calon Bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024 mendatang.
Adapun alasan dari para eksaminator berpendapat demikian, diantaranya: Pertama, putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 sama sekali tidak membuat norma baru yang membatasi hak konstitusional pemohon Drs. Edi Damansyah untuk kembali mendaftar sebagai calon bupati pada pilkada 2024, sebagai orang yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Bupati Kutai Kartanegara.
Putusan tersebut hanya menyatakan tidak membedakan antara masa jabatan bagi yang menjabat secara “definitif” maupun “Penjabat Sementara”. Drs. Edi Damansyah hanya pernah menduduki jabatan sebagai “Pelaksana Tugas” kepala daerah, tidak perbah menduduki jabatan sebagai “Penjabat Sementara”. Padahal secara teori “Pelaksana Tugas” dan “Penjabat Sementara” adalah dua terminology jabatan yang berbeda.
Pejabat sementara adalah seorang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan kepala daerah disebabkan kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani cuti kampanye, sedangkan Pelaksana Tugas adalah seseorang wakil bupati yang menduduki jabatan bupati sementara ketika Bupati Difinitifnya sedang berhalangan sementara.
Kedua, masa menjabat Drs. Edi Damansyah sebagai pelaksana tugas Bupati yaitu kurang dari 2,5 tahun (10 bulan 3 hari). Demikian pula masa menjabatnya sebagai Bupati Definitif pada periode 2016 sampai dengan 2021 juga kurang dari 2,5 tahun (2 tahun 9 hari). Sehingga pun kalau ingin dimaknai pertimbangan Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 yakni MK tidak membedakan masa menjabat (2,5 tahun atau lebih sebagai 1 (satu) periode) antara Pejabat Definitif dengan Pejabat Sementara, maka dua keadaan dari Drs Edi Damansyah baik saat menjabat sebagai pelaksana tugas dan Bupati definitif (2016 s/d 2021) belum dapat terhitung sebagai satu periode.
Ketiga, berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat (1) huruf o yang juga dituangkan dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa awal untuk mulai menghitung satu periode masa jabatan Kepala Daerah adalah sejak tanggal pelantikan. Pemohon Drs Edi Damansyah dalam kasus tersebut, menjabat sebagai pelaksana tugas bupati berdasarkan Permendagri Nomor 35 tahun 2013 tentang Tata Cara penatikan Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah Definitif, dan Penjabat kepala Daerah yang dilantik sebelum menduduki jabatannya.
Keempat, terdapat fakta hukum erupa dengan kasusvPemohon Drs. Edi Damansyah, M.Si., dalam statusnya sebagai warga negara yang pernah menjabat sebagai “Pelaksana Tugas Bupati, yakni kasus Hamim Pou (Bupati Bone Bolango) yang pernah
dipersoalkan melalui pengujian materil dan permohonan sengketa hasil Pilkada. Oleh MK tidak membatasi hak konstitusional Hamim Pou, dan tidak menggugurkannya dalam sengketa hasil Pilkada Keadaan tersebut seharusnya diperlakukan sama bagi Drs. Edi Damansyah, M.Si.
Kelima, baik Putusan MK Nomor 8/PUU-VI/2008 maupun Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 memiliki keadaan hukum yang serupa, sehingga MK membentuk norma baru terkait dengn butas masa menjabat untuk dapat dihitung satu periode, yakni 2,5 tahun atau lebih. Jika ditelisik lebih jauh, norma ini bersumber dari pemohon dan pihak terkait yang secara keseluruhan mempersoalkan masa menjabat sebagai “Pejabat Definitif Putusan MK Nomor 22/PUU- VI1/2009 yang kembali dikutip oleh MK dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 semakin memberi penegasan atau penguatan, bahwa pemberlakuan atas masa menjabat 2,5 tahun tersebut hanya dapat diberlakukan bagi Kepala Daerah definitif saja, dan bukan untuk terminology jabatan lainnya.
Keenam, tidak rasional adanya menyamakan antara “Pejabat Definitif” dengan “Pejabat Sementara”, sebab dari segi hak-hak,tugas
dan kewenangan, masa menjabat, cara mendudukijabatan, dan asal- usulnya berbeda satu sama lain.
Pada intinya pelaksana tugas kepala daerah meaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah dalam serba yang terbatas. Selain sifat kewenangannya yang mandatoir, Juga tidak dibenarkan membuat keputusan yang sifatnya strategis. Hak- hak protokoler, keuangan, gaji, dan tunjangannya Pun tetap dalam kapasitasnya sebagai wakil kepala daerah.
Pada akhirnya mengonkritkan Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 perihal bagimana pemakanaan yang tepat dan benar atas Pasal 7 ayat (2) buruf n UU No. 10/2016, dengan pendekatan teoritis, yuridis (undang undang), dan Putusan MK an sich, Drs. Edi Damansyah, masih memiliki hak untuk ditetapkan sebagai Calon Bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024 mendatang dalam hubungannya dengan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU No. 10/2016.
Selain literatur ini bertujuan untuk penguatan atas hak dan kepentingan pencalonan Drs. Edi Damansyah M.Si. pada Pilkada 2024 mendatang, juga tetap relevan untuk dijadikan “bahan hukum” dalam studi kepemiluan dan ketatanegaraan di Perguruan Tinggi. Juga dapat menjadi bahan bagi penyelenggara Pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pihak yang dapat dikatakan “eksekutor langsun atas perjalanan siklus pemerintahan daerah. demikian pendapat para pakar akademisi hukum terkait pelaksanaan Pilkada tahun 2024 mendatang terkait putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023. (Prokom10)