Puisi Sukardi Wahyudi “Balada Lelaki Setengah Baya” Warnai Porseni PGRI
TENGGARONG – H. Sukardi Wahyudi sosok sastrawan dan budaya yang tumbuh di kalangan pecinta olahraga leluhur budaya bangsa Indonesia yakni pencak silat, bahkan sastrawan Kutai Kartanegara (Kukar) ini mampu memberikan warna bagi kelestarian sastra dan budaya dan menulis karya-karya puisinya dalam sebuah buku berjudul “Jejak Rindu”.

H. Sukardi Wahyudi Sastrawan Budaya Kukar. Credit Foto: Irwan Wadi
“Jangan memalingkan wajah apa lagi kau tinggal, suatu saat kan ku ziarahi kangen ini, walau di jurang waktu tetap kutunggu sampai kau benar-benar ada di sampingku,” penggalan jejak rindu karya Sukardi Wahyudi.
“Semoga jejak rindu ini dapat diterima dan menjadi sumber bahan bacaan yang menggugah proses berkehidupan yang positif, tersimpan dalam hati para pembacanya,” kata Sukardi.
Sukardi Wahyudi pun didaulat untuk membacakan sebuah puisi di hadapan Bupati Kukar Edi Damansyah, Ketua PGRI Kukar Prof Yonathan Palinggi, Kadisdikbud Kukar Tauhid Apriliannur dan para guru yang berkumpul dalam rangka Pekan Olahraga & Seni (Porseni) PGRI, Sabtu (15/10/2022) di Ruang Pertemuan Disdikbud Kukar, Tenggarong.
Sukardi mpun mulai membacakan karya puisinya yang berjudul “Balada Lelaki Setengah Baya” diiringi dengan audio penambah semangat puisi sang sastrawan.
Berikut kutipan puisi “Balada Lelaki Setengah Baya” karya Sukardi Wahyudi.
Matahari bergerak berat merayap mengintip pagi
cahayanya merah jingga tersenyum malu
berselimut sisa embun di puncak dedaunan yang genit bergoyang
lelaki setengah baya memandang harapan
langkah dan semangatnya menyatu menuju pengandian
tali di lepas
sampan di dayung dengan otot tangan setengah tenaga
karena sesekali melambai menerima salam dari muridnya
lalu di ayun gulungan ombak kecil dari lalu lalang kapal dagang.
Lelaki setengah baya seorang pejuang tanpa senjata
di tengah tanah rimba belantara yang merdeka
senyumnya adalah semangat untuk semua
cinta kasih sayang dan ketulusan
selalu memberi tanpa meminta walaupun hidup papa
karena mengaduh tanda pasrah dan tak ada rumus itu di otaknya.
Lelaki setengah baya menyusuri jembatan hidup dengan rasa
dibiarkannya waktu menghitung langkah kaki perjuangan
Oemar Bakri, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
dengan merdunya slogan semboyan diucapkan, lagu dinyayikan
dan entah apa lagi namanya.
Bagi lelaki setengah baya tak memperdulikan warna warni di angkasa
yang hanya pandai mengibarkan keangkuhan dan kasta
membagikan piala tanda kemenangan
dan huru hara tanpa makna
mereka lupa
mereka tak paham.
Cara menghitung harga sebuah perjuangan kearifan hidup
yang disemaikan disetiap rulang tulang ranting tunas muda
di jaga dan di pupuk hingga tumbuh gembur dengan subur
di sirami dengan keringat dan air mata kerinduan
agar negeri ini bebas dari alpa dan kebodohan.
Lelaki setengah baya berdiri dibalik daun jendela
di pangku dagunya di buka kaca matanya
dalam dalam ia irup angin yang menerpa rongga dadanya
matanya berkaca-kaca melihat lemari penuh tumpukan buku tua
meja kursi sederhana tak ada yang istimewa
karena rapuh juga usang dimakan serangga dan usia.
Inikah lukisan nyata di negeri tercinta?
lelaki setengah baya
lelaki setengah baya
semangatmu bagai baja tertancap didasar jiwa
senymmu wangi berembus menusuk altar nusantara.
Akhir puisi yang menggugah hati oleh pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kukar yang kini mengabdikan dirinya sebagai staf pengajar di SMK-YPK Tenggarong sejak tahun 1986 sampai sekarang. (Prokom10)